Rabu, 20 Maret 2013

Sejarah Perkembangan Karet di Sumatera Indonesia

Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet yang paling tua diketemukan di Subang Jawa Barat yang ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditanam di daerah Sumatera Timur pada tahun 1902, kemudian dibawa oleh perusahaan perkebunan asing ditanam di Sumatera Selatan. Pada waktu itu petani membuka hutan untuk menanam padi selama 2 tahun lalu ladang ditinggalkan ,sebelum meninggalkan ladang biasanya menanam tanaman keras seperti karet dan buah-buahan. Petani akan datang kembali setelah 10 - 12 tahun kemudian untuk menyadap kebun karetnya.

Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari usaha perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet dunia sementara industri mobil di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.

Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberapa daerah antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah dan rakyat mempunyai kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya usaha karet rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama setelah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melakukan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melakukan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ekspor ini mengakibatkan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.

Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet dapat menjual karetnya ke luar negeri misalnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya langsung ke luar negeri maka ia dapat menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet karena walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet tetap menerima kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) karena bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.

Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat karena perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang perantara yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan keuntungan yang berlimpah. Apabila kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.

Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di berbagai belahan dunia yang terlibat, maka permintaan akan karet menunjukkan peningkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega karena Jepang tidak lagi berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional, tetapi perluasan areal karet dan peremajaan tanaman karet tua kurang perhatian akibatnya terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong perkembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama perluasan areal proyek bantuan pemerintah, namun luas tanaman karet tua dan rusak cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih memilih penanaman karet baru secara tradisional dengan membuka lahan baru (blukar/hutan) dari pada meremajakan karet tuanya karena kebun karet tua dianggap masih merupakan asset yang sewaktu-waktu dapat dikelola (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994).

Penanaman karet secara teknologi tradisional dilakukan sampai tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara sejak tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi dengan kelapa sawit, karena lahan petani diikutsertakan sebagai kebun plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera Selatan, 2004).

Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat pola yaitu (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan Besar (PPB).

a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya setelah kebun plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan hasilnya. PIR berusaha menciptakan petani mandiri di wilayah bukaan baru dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai pekerja buruh plasma yang di upah.

Pemerintah membangun perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia sampai dengan tahun 1991 seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami masalah ketidak mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan bahan olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan beragam serta eksploitasi tanaman karet yang berlebihan, maka sejak tahun 1991 pemerintah tidak lagi mengembangkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing) tetapi petani tidak mempunyai modal untuk membangun kebun. Pemerintah pusat telah mengembangkan perkebunan karet di Indonesia sampai dengan tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %, dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 % sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).

Pola UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri sedangkan pihak UPP melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pembinaan. Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan pihak UPP memberikan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.

Pola Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di daerah transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet dibiayai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP) dalam mengembangkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi yang dibiayai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan terhadap lembaga konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial pengembangan penanaman karet baru pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000 ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) mengembangkan kebun karet rakyat yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia seluas 73.000 ha.

c. Pola Bantuan Parsial merupakan kegiatan pembangunan perkebunan melalui pemberian bantuan parsial kepada petani secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan kegiatan untuk meningkatkan mutu bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan kegiatan pengembangan tanaman perkebunan dalam suatu skala ekonomis melalui bantuan gratis paket saprodi tanaman karet dan tanaman sela pada tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106 kepala keluarga.



Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya yaitu sistem usaha rayonisasi dimana adanya hubungan kerjasama usaha antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir berdasarkan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan penerapan etika bisnis yang baik.

d. Pola Pengembangan Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli 1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.

Dana Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun 1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead pembangunan sektor perkebunan dan setelah DTE ditiadakan maka dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet sejak diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh karena itu pengembangan peremajaan kebun karet sejak saat itu pada umumnya dilakukan secara swadaya petani baik secara bertahap maupun sekaligus.

Selanjutnya Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui berbagai pola yaitu (1) Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor, (3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangun kebun dan atau pabrik kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan usaha perkebunan diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.


Daftar Pustaka

Aima. M.H, 1991. Analisis Peremajaan Karet Rakyat di Kabupaten Sarolangun Bangko Provinsi Jambi, Tesis S2 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, 2004. Arah dan Kebijakan Jangka Panjang Pembangunan Perkebunan di Sumatera Selatan Tahun 2020. Palembang.
Forum Pengkajian Perkaretan, 1994. Konsepsi Pembangunan Jangka Panjang Perkaretan Indonesia (1994-2019), Jakarta : 54 – 63. Kerjasama PPPA dan GPKI.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 2005. Program Akselerasi Perkebunan (Karet dan Kelapa Sawit) Palembang.
Supriono, A. dan M. Supriadi, 1991. Penyebarluasan Teknologi Usahatani Karet melalui Pelaksanaan Sistem Peremajaan Karet Tradisionil. Lateks 6 (2) : 60-63.

1 komentar: