Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda.
Tanaman karet yang paling tua diketemukan di Subang Jawa Barat yang
ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 tanaman karet ditanam di Kebun
Raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet
dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah.
Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di daerah
Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam adalah
karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis)
ditanam di daerah Sumatera Timur pada tahun 1902, kemudian dibawa oleh
perusahaan perkebunan asing ditanam di Sumatera Selatan. Pada waktu itu
petani membuka hutan untuk menanam padi selama 2 tahun lalu ladang
ditinggalkan ,sebelum meninggalkan ladang biasanya menanam tanaman keras
seperti karet dan buah-buahan. Petani akan datang kembali setelah 10 -
12 tahun kemudian untuk menyadap kebun karetnya.
Perusahaan
Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang
mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang
dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des
Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika
yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada
tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung
mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya
sarana transportasi ini merupakan warisan dari usaha perkebunan tembakau
yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan
1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan
usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi
perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun
1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet
dunia sementara industri mobil di Amerika meningkatkan jumlah
permintaan karet.
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga
berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga.
Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di
beberapa daerah antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif
mudah dan rakyat mempunyai kepercayaan terhadap cerahnya masa depan
perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang
dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet
untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan
antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya usaha karet
rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama setelah terjadi pada
tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet
sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat
peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh
rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak
terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga
karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar.
Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di
pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk
melakukan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7
Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya,
Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan
dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam
Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936
No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda
tidak berhasil melakukan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah
Hindia Belanda melakukan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor.
Pajak ekspor ini mengakibatkan produksi menjadi turun dan menurunkan
harga yang diterima ditingkat petani.
Kemudian pada tahun
1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin
ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada
eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet dapat menjual karetnya
ke luar negeri misalnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut
tidak berkeinginan menjual karetnya langsung ke luar negeri maka ia
dapat menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau
eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik
karet karena walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet
tetap menerima kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini
dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) karena
bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah
tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon
karetnya tidak disadap.
Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang
berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet
rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang
tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan
tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang
menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat
karena perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani
karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang
perantara yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan
menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil
produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan
usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada
peningkatan produksi dan keuntungan yang berlimpah. Apabila kebutuhan
sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan
terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.
Setelah Perang
Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di berbagai belahan dunia
yang terlibat, maka permintaan akan karet menunjukkan peningkatan
kembali. Indonesia pun agak merasa lega karena Jepang tidak lagi
berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil
secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya
oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan
karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh
perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam
internasional, tetapi perluasan areal karet dan peremajaan tanaman
karet tua kurang perhatian akibatnya terjadi penurunan produksi karet
alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan
Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong
perkembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha
meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama perluasan areal
proyek bantuan pemerintah, namun luas tanaman karet tua dan rusak
cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih memilih penanaman karet
baru secara tradisional dengan membuka lahan baru (blukar/hutan) dari
pada meremajakan karet tuanya karena kebun karet tua dianggap masih
merupakan asset yang sewaktu-waktu dapat dikelola (Forum Pengkajian
Perkaretan, 1994).
Penanaman karet secara teknologi tradisional
dilakukan sampai tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan
terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan
lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan
keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman
kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara sejak
tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi
dengan kelapa sawit, karena lahan petani diikutsertakan sebagai kebun
plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal
karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera
Selatan, 2004).
Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan
karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat pola yaitu (1)
Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek
(UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan
Besar (PPB).
a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan
pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang
dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan
perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai
inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya setelah kebun
plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan
hasilnya. PIR berusaha menciptakan petani mandiri di wilayah bukaan
baru dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang
berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun
merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai
pekerja buruh plasma yang di upah.
Pemerintah membangun
perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR
Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia sampai dengan tahun 1991
seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan
jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian
Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami masalah ketidak
mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan bahan olah karet (bokar)
keluar inti, mutu bokar yang rendah dan beragam serta eksploitasi
tanaman karet yang berlebihan, maka sejak tahun 1991 pemerintah tidak
lagi mengembangkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit
Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang
dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing)
tetapi petani tidak mempunyai modal untuk membangun kebun. Pemerintah
pusat telah mengembangkan perkebunan karet di Indonesia sampai dengan
tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP
Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %,
dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 %
sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani
sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).
Pola
UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri
sedangkan pihak UPP melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pembinaan.
Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan
pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan
pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan
prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan
pihak UPP memberikan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan
hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.
Pola
Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip
yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di daerah
transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet
dibiayai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP)
dalam mengembangkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi
yang dibiayai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang
berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan
terhadap lembaga konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama
bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial
pengembangan penanaman karet baru pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000
ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) mengembangkan
kebun karet rakyat yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia seluas
73.000 ha.
c. Pola Bantuan Parsial merupakan kegiatan
pembangunan perkebunan melalui pemberian bantuan parsial kepada petani
secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar
PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan
Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan
Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan kegiatan untuk meningkatkan mutu
bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit
pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan
kegiatan pengembangan tanaman perkebunan dalam suatu skala ekonomis
melalui bantuan gratis paket saprodi tanaman karet dan tanaman sela pada
tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola
swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada
tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106
kepala keluarga.
Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya
yaitu sistem usaha rayonisasi dimana adanya hubungan kerjasama usaha
antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir
berdasarkan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan
penerapan etika bisnis yang baik.
d. Pola Pengembangan
Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan
untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai
inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui
fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi
Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli
1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.
Dana
Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan
untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun
1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead
pembangunan sektor perkebunan dan setelah DTE ditiadakan maka
dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat
terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet sejak
diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial
disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat
terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh karena itu pengembangan
peremajaan kebun karet sejak saat itu pada umumnya dilakukan secara
swadaya petani baik secara bertahap maupun sekaligus.
Selanjutnya
Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui berbagai pola yaitu (1)
Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor,
(3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan
Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangun kebun dan atau pabrik
kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan usaha perkebunan diatur
dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:
107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian
No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Daftar Pustaka
Aima.
M.H, 1991. Analisis Peremajaan Karet Rakyat di Kabupaten Sarolangun
Bangko Provinsi Jambi, Tesis S2 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
(tidak diterbitkan).
Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan,
2004. Arah dan Kebijakan Jangka Panjang Pembangunan Perkebunan di
Sumatera Selatan Tahun 2020. Palembang.
Forum Pengkajian Perkaretan,
1994. Konsepsi Pembangunan Jangka Panjang Perkaretan Indonesia
(1994-2019), Jakarta : 54 – 63. Kerjasama PPPA dan GPKI.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 2005. Program Akselerasi Perkebunan (Karet dan Kelapa Sawit) Palembang.
Supriono,
A. dan M. Supriadi, 1991. Penyebarluasan Teknologi Usahatani Karet
melalui Pelaksanaan Sistem Peremajaan Karet Tradisionil. Lateks 6 (2) :
60-63.
Karet menyumbang devisa besar untuk negeri ini
BalasHapusPisau Sadap Karet
Herbal Alami