Kamis, 21 Maret 2013

PROFIL DESA BATUMARTA III



PROFIL DESA BATUMARTA III


 Assalamu'alaikum,,, kali ini saya akan posting tentang profil Desa Batumarta III, ini permintaan dari teman-teman untuk melengkapi skripsi mereka.
baiklah, berikut sedikit ulasan tentang profil Desa Batumarta III yang saya dapat dari kantor Desa pada tahun 2013. 

A.  Keadaan Umum Daerah
1.  Letak dan Batas Wilayah
            Desa Batumarta III merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Madang Suku II Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatra Selatan dengan luas desa 4200 meter. Batas-batas wilayah administratif Desa Batumarta III adalah sebagai berikut:
a.       Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lubuk Banjar.
b.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Batumarta II.
c.       Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Lekis.
d.      Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Gilas.
            Jarak Desa Batumarta III ke ibukota kabupaten 32 kilometer, dan jarak ke ibukota kecamatan 10kilometer.  Desa ini dapat dicapai  melalui jalan darat yang dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama sekitar lebih kurang 1 jam dari ibukota kabupaten. 

2.  Geografi dan Topografi
26
 
            Desa Batumarta III Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatra Selatan memiliki keadaan tanah dengan struktur lempung berpasir yang sangat cocok untuk tanaman karet, padi dan tanaman hortikultura lainnya dengan ketinggian tanah 50 meter dpl dan curah hujan 272,4 milimeter per tahun.
3.  Keadaan Penduduk
a.  Keadaan Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
  Penduduk Desa Batumarta III pada umumnya 95 persen didominasi oleh suku Jawa karena merupakan penduduk transmigran, tetapi ada juga penduduk yang berasal dari suku Ogan, Komering, Padang dan Semendo.  Mereka yang bukan penduduk transmigran biasanya membeli tanah dan membangun rumah serta menetap di sana.  Penduduk Desa Batumarta III berjumlah 1.585  KK yang terdiri dari laki-laki 2.963 jiwa dan perempuan 2.364 jiwa. 

b.  Keadaan Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Penduduk Desa Batumarta III memiliki tingkat pendidikan yang sudah maju.  Rata-rata penduduk disana telah mencapai pendidikan wajib mulai bangku SD, SLTP dan SLTA. Tingkat pendidikan penduduk Desa Batumarta III disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat pendidikan dan jumlah penduduk Desa Batumarta III tahun 2013
No
Tingkat pendidikan
Jumlah Siswa (jiwa)
Persentase (%)
Jumlah guru
(Jiwa)
Persentase (%)
1.
TK
175
16,8
16
16,0
2.
SD
730
69,9
52
52,0
3.
SLTP/ sederajat
75
7,2
15
15,0
4
SLTA/ sederajat
65
6,2
17
17,0

Jumlah
1.045
100
100
100
Sumber: Kantor Kepala Desa Batumarta III, 2013

c.  Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Desa Batumarta III sangat beragam.  Namun pekerjaan utama penduduk di desa ini adalah sebagai petani karet.  Jenis  mata pencaharian penduduk di Desa Batumarta III disajikan pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4.  Komposisi matapencaharian penduduk Desa Batumarta III tahun 2013
No.
Jenis Pekerjaan
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
1.
Karyawan
151
5,3
2.
Wiraswasta
3
0,1
3.
Tani
2.523
88,5
4.
Pertukangan
167
5,9
5.
Pensiunan
7
0,3

Jumlah
2851
100
Sumber: Kantor Kepala Desa Batumarta III, 2013
Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Batumarta III adalah petani yaitu sebanyak 2.523 jiwa atau sekitar 88,5 persen.  Sebagian lain penduduk Desa Batumarta III bermatapencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, tukang dan pensiunan.

Sarana dan Prasarana
a.       Tempat Ibadah
Fasilitas tempat ibadah di Desa Batumarta III ini sudah lengkap dan kondisinya sangat baik dan terawat.  Adapun tempat ibadah yang dimiliki Desa Batumarta III ini yaitu dari mayoritas agama Islam.  Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5.  Jenis-Jenis Tempat Ibadah Di Desa Batumarta III Tahun 2013
No
Jenis-jenis tempat ibadah
Jumlah (unit)
Persentase (%)
1.
2.
3.
Masjid
Mushollah
Gereja
16
32
3
31,4
62,7
5,9

Jumlah
51
100
Sumber: Kantor Kepala Desa Batumarta III, 2013
b.      Transportasi dan Komunikasi
Fasilitas transportasi yang banyak digunakan di Desa Batumarta III ini adalah kendaraan bermotor dan mobil.  Lama waktu tempuh ke ibu kota kecamatan hanya sepuluh menit.  Fasilitas jalan di Desa Batumarta III kurang baik walaupun sudah diaspal tapi sudah berlubang-lubang dan hancur, sehingga jalannya berdebu.  Sedangkan fasilitas sarana komunikasi yang ada di Desa Batumarta III ini sudah lengkap dari fasilitas  radio, televisi, surat kabar, dan telepon genggam.

Rabu, 20 Maret 2013

Sejarah Perkembangan Karet di Sumatera Indonesia

Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet yang paling tua diketemukan di Subang Jawa Barat yang ditanam pada tahun 1862. Pada tahun l864 tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun 1864 di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditanam di daerah Sumatera Timur pada tahun 1902, kemudian dibawa oleh perusahaan perkebunan asing ditanam di Sumatera Selatan. Pada waktu itu petani membuka hutan untuk menanam padi selama 2 tahun lalu ladang ditinggalkan ,sebelum meninggalkan ladang biasanya menanam tanaman keras seperti karet dan buah-buahan. Petani akan datang kembali setelah 10 - 12 tahun kemudian untuk menyadap kebun karetnya.

Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari usaha perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet dunia sementara industri mobil di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.

Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberapa daerah antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah dan rakyat mempunyai kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya usaha karet rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama setelah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melakukan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melakukan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ekspor ini mengakibatkan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.

Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet dapat menjual karetnya ke luar negeri misalnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya langsung ke luar negeri maka ia dapat menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet karena walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet tetap menerima kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) karena bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.

Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat karena perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang perantara yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan keuntungan yang berlimpah. Apabila kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.

Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di berbagai belahan dunia yang terlibat, maka permintaan akan karet menunjukkan peningkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega karena Jepang tidak lagi berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional, tetapi perluasan areal karet dan peremajaan tanaman karet tua kurang perhatian akibatnya terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong perkembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama perluasan areal proyek bantuan pemerintah, namun luas tanaman karet tua dan rusak cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih memilih penanaman karet baru secara tradisional dengan membuka lahan baru (blukar/hutan) dari pada meremajakan karet tuanya karena kebun karet tua dianggap masih merupakan asset yang sewaktu-waktu dapat dikelola (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994).

Penanaman karet secara teknologi tradisional dilakukan sampai tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara sejak tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi dengan kelapa sawit, karena lahan petani diikutsertakan sebagai kebun plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera Selatan, 2004).

Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat pola yaitu (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan Besar (PPB).

a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya setelah kebun plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan hasilnya. PIR berusaha menciptakan petani mandiri di wilayah bukaan baru dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai pekerja buruh plasma yang di upah.

Pemerintah membangun perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia sampai dengan tahun 1991 seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami masalah ketidak mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan bahan olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan beragam serta eksploitasi tanaman karet yang berlebihan, maka sejak tahun 1991 pemerintah tidak lagi mengembangkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing) tetapi petani tidak mempunyai modal untuk membangun kebun. Pemerintah pusat telah mengembangkan perkebunan karet di Indonesia sampai dengan tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %, dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 % sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).

Pola UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri sedangkan pihak UPP melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pembinaan. Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan pihak UPP memberikan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.

Pola Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di daerah transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet dibiayai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP) dalam mengembangkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi yang dibiayai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan terhadap lembaga konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial pengembangan penanaman karet baru pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000 ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) mengembangkan kebun karet rakyat yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia seluas 73.000 ha.

c. Pola Bantuan Parsial merupakan kegiatan pembangunan perkebunan melalui pemberian bantuan parsial kepada petani secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan kegiatan untuk meningkatkan mutu bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan kegiatan pengembangan tanaman perkebunan dalam suatu skala ekonomis melalui bantuan gratis paket saprodi tanaman karet dan tanaman sela pada tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106 kepala keluarga.



Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya yaitu sistem usaha rayonisasi dimana adanya hubungan kerjasama usaha antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir berdasarkan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan penerapan etika bisnis yang baik.

d. Pola Pengembangan Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli 1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.

Dana Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun 1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead pembangunan sektor perkebunan dan setelah DTE ditiadakan maka dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet sejak diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh karena itu pengembangan peremajaan kebun karet sejak saat itu pada umumnya dilakukan secara swadaya petani baik secara bertahap maupun sekaligus.

Selanjutnya Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui berbagai pola yaitu (1) Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor, (3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangun kebun dan atau pabrik kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan usaha perkebunan diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.


Daftar Pustaka

Aima. M.H, 1991. Analisis Peremajaan Karet Rakyat di Kabupaten Sarolangun Bangko Provinsi Jambi, Tesis S2 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, 2004. Arah dan Kebijakan Jangka Panjang Pembangunan Perkebunan di Sumatera Selatan Tahun 2020. Palembang.
Forum Pengkajian Perkaretan, 1994. Konsepsi Pembangunan Jangka Panjang Perkaretan Indonesia (1994-2019), Jakarta : 54 – 63. Kerjasama PPPA dan GPKI.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 2005. Program Akselerasi Perkebunan (Karet dan Kelapa Sawit) Palembang.
Supriono, A. dan M. Supriadi, 1991. Penyebarluasan Teknologi Usahatani Karet melalui Pelaksanaan Sistem Peremajaan Karet Tradisionil. Lateks 6 (2) : 60-63.

Jumat, 15 Maret 2013

TEORI HARGA

TEORI PEMBENTUKAN HARGA

 Latar Belakang
Harga merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu pemasaran karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan akan menurun, namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh organisasi/ perusahaan.
Kegiatan faktor produksi adalah kegiatan yang melakukan proses, pengolahan, dan mengubah faktor-faktor produksi dari yang tidak/kurang manfaat/gunanya menjadi memiliki nilai manfaat yang lebih. Faktor- Faktor produksi yang umumnya digunakan adalah tenaga kerja, tanah, dan modal. Kelangkaan pada suatu faktor produksi biasanya akan menyebabkan kenaikan harga faktor produksi tersebut.

 Pengertian Harga
Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran suatu produk karena harga adalah satu dari empat bauran pemasaran / marketing mix (4P = product, price, place, promotion / produk, harga, distribusi, promosi). Harga adalah suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter.
Harga merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu perusahaan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh perusahaan dari penjualan produknya baik berupa barang maupun jasa.
Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan akan menurun, namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh organisasi perusahaan.

Tujuan Penetapan Harga
Adapun tujuan pembentukan harga adalah sebagai berikut:
1.      Mendapatkan keuntungan sebesar- besarnya
Dengan menetapkan harga yang kompetitif maka perusahaan akan mendulang untung yang optimal.
2.      Mempertahankan perusahaan
Dari marjin keuntungan yang didapat perusahaan akan digunakan untuk biaya operasional perusahaan.
 Contoh : untuk gaji/upah karyawan, untuk bayar tagihan listrik, tagihan air bawah tanah, pembelian bahan baku, biaya transportasi, dan lain sebagainya.
3.      Menggapai ROI (Return on Investment)
Perusahaan pasti menginginkan balik modal dari investasi yang ditanam pada perusahaan sehingga penetapan harga yang tepat akan mempercepat tercapainya modal kembali / roi.
4.      Menguasai Pangsa Pasar
Dengan menetapkan harga rendah dibandingkan produk pesaing, dapat mengalihkan perhatian konsumen dari produk kompetitor yang ada di pasaran.
5.      Mempertahankan status quo
Ketika perusahaan memiliki pasar tersendiri, maka perlu adanya pengaturan harga yang tepat agar dapat tetap mempertahankan pangsa pasar yang ada.

Teori Pembentukan Harga
1.      Pendekatan Permintaan dan Penawaran (supply demand approach)
Dari tingkat permintaan dan penawaran yang ada ditentukan harga keseimbangan (equilibrium price) dengan cara mencari harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.
2.      Pendekatan Biaya (cost oriented approach)
Menentukan harga dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan baik dengan markup pricing dan break even analysis.
3.      Pendekatan Pasar (market approach)
Merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain

Harga dan Pasar
Dalam pengertian yang sederhana atau sempit pasar adalah tempat terjadinya transaksi jual beli (penjualan dan pembelian) yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.
Definisi pasar secara luas menurut W.J. Stanton adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya.
Peranan alokasi dari harga yaitu membantu pembeli memutuskan cara memperoleh utilitas maksimal sesuai daya belinya.
Peranan informasi dari harga,dapat menunjukkan pada konsumen mengenai faktor- faktor produk, misalnya kualitas.
Pada umumnya suatu transaksi jual beli melibatkan produk/barang atau jasa dengan uang sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.
Kegiatan faktor produksi adalah kegiatan yang melakukan proses, pengolahan, dan mengubah faktor-faktor produksi dari yang tidak/kurang manfaat/gunanya menjadi memiliki nilai manfaat yang lebih. Faktor- Faktor produksi yang umumnya digunakan adalah tenaga kerja, tanah, dan modal.
 Kelangkaan pada suatu faktor produksi biasanya akan menyebabkan kenaikan harga faktor produksi tersebut.

Kebijakan Harga dan Perdagangan
Penentu kebijakan harga:
Internal:
1.      tujuan pemasaran perusahaan
2.      strategi bauran pemasaran
3.      biaya
4.       manajemen organisasi
5.       product lifecycle


Eksternal:
1.      sifat pasar dan permintaan ~ kepekaannya
2.      persaingan
3.      unsur lingkungan eksternal lainnya

Tolak ukur keberhasilan harga:
1.      signifikasi peningkatan sales dari kontribusi kesesuaian harga
2.      laba meningkat
3.      pertumbuhan permintaan riil dan potensial
4.      positioning produk makin mantap

Pemasaran dan Peranan Pemerintah
Menurut WY. Stanton Pemasaran adalah sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan dengan tujuan untuk merencanakan dan menentukan harga sampai dengan mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pembeli aktual maupun potensial. (Fundamental of marketing, 1997)
Menurut H. Nystrom Pemasaran merupakan suatu kegiatan penyaluran barang atau jasa dari tangan produsen ke tangan konsumen.
Menurut Philip dan Duncan Pemasaran yaitu sesuatu yang meliputi semua langkah yang dipakai atau dibutuhkan untuk menempatkan barang yang bersifat tangible ke tangan konsumen. (pemasaran, 2001)
Menurut Asosiasi Pemasaran Amerika Serikat / American Merketing Association Pemasaran adalah pelaksanaan kegiatan usaha pedagangan yang diarahkan pada aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Menurut Organisasi.Org Marketing atau Pemasaran adalah suatu perpaduan dari aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan untuk mengetahui kebutuhan konsumen serta mengembangkan promosi, distribusi, pelayanan dan harga agar kebutuhan konsumen dapat terpuaskan dengan baik pada tingkat keuntungan tertentu.
Dengan adanya pemasaran, konsumen tidak perlu lagi memenuhi kebutuhan pribadi secara sendiri-sendiri dengan melakukan pertukaran antara konsumen dengan pelaku pemasaran sehingga akan ada banyak waktu konsumen untuk kegiatan yang dikuasai atau disukai.
Menurut Kotler Pemasaran adalah suatu proses social dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain. (manajemen pemasaran 2000)
Menurut Badroni Yuzirman (TDA Community) pemasaran adalah bagaimana merayu agar prospek tahu, tertarik dan membeli produk/jasa kita sesring dan sebanyak mungkin dan merekomendasikannya kepada prospek lain.
Menurut Annissa Wardani (TDA Community) Pemasaran adalah selalu berusaha mengetahui apa yang konsumen inginkan (dan butuhkan), kemudian membuat produk dan mempersuasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen produk tersebut, untuk membuat konsumen tertarik dan membeli produk kita.
George E. Belch dan Michael A. Belch, dalam buku Advertising & Promotion: an IMC Perspective, 2007:8 mengemukakan definisi konsep pemasaran sebagai fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk kreasi, komunikasi dan penyampaian nilai kepada para pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan yang memberikan manfaat bagi organisasi dan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki hubungan erat dengan organisasi.
Menurut Alex S Nitisemito dalam buku Marketing, 1984 pemasaran adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Kebijakan pemerintah dan intervensi harus menangani lebih dari tujuan perdagangan "rasionalisasi", yang sering terjadi dalam upaya untuk membuat praktik pemasaran sesuai mekanik ke model modern. Pemasaran intervensi harus mempertimbangkan kemampuan terbukti dari jaringan pemasaran.
Kebijakan harus ditujukan untuk bekerja dengan sistem yang ada, bukan menggantikannya.
 Pemerintah mencoba untuk menggantikan sistem pasar bebas sering menaikkan biaya pemasaran, dengan demikian menyakiti konsumen, distorsi alokasi sumber daya dan merusak perekonomian
Adalah penting bahwa para pembuat kebijakan melihat perdagangan sebagai aktivitas yang diperlukan dan diinginkan sosial dilakukan dalam lingkungan risiko.
Studi sistem pemasaran ternak di Afrika, pada kenyataannya, menunjukkan bahwa pasar sering tampil baik ketika dibiarkan pengusaha swasta. Hal ini umumnya direkomendasikan bahwa pemerintah memainkan memfasilitasi daripada peran langsung di pasar. Intervensi regulasi harus dibatasi. Intervensi yang tepat sehingga tidak langsung di alam dan memiliki tiga tujuan umum:
1.      untuk memperbaiki infrastruktur pasar
2.      untuk meningkatkan informasi  kelembagaan.
3.      untuk memperbaiki infrastruktur  kelembagaan